Senin, 07 September 2009

Antara Etos Kerja

Dua tahun terakhir ini saya banyak berurusan dengan anak-anak muda yang tak bisa meneruskan sekolah tapi juga belum bisa segera memperoleh lapangan kerja. Mereka adalah generasi mutakhir bangsa kita, calon penerus “perjuangan”.

Dalam struktur makro masyarakat nasional kita, mayoritas penduduk desa tergolong kelas bawah, atau paling jauh ada satu dua lower-middle. Tapi dalam struktur mikro masyarakat desa itu sendiri, ada tatanan tersendiri, ada variable khas, serta ada sifat-sifat tertentu yang meskipun diakibatkan oleh system makro, namun harus diperhitungkan juga secara local. Artinya, diantara lapisan bawah itu masih ada kelas-kelas lagi, terutama secara ekonomi.

Tetapi pada kesemuanya itu ada suatu pararel. Ada suatu benang merah yang mempertemukan kondisi mereka yang diakibatkan oleh semacam krisis sejajar. Artinya krisis yang ditimbulkan oleh bagaimana kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mengontruksi sejarak kemasyarakatan kita. Dalam hal ini, yang menonjol dari “kebijaksanaan” itu adalah kebelum merataan pembangunan ekonomi, kebelum seimbangan antara frekuensi peningkatan ekonomi dengan tawaran konsumsi-konsumsi yang dibawa serta oleh peningkatan ekonomi makro tersebut.

Dari sudut lain, hal terakhir itu, bisa kita sebut sebagai timpangnya penerapan teknologi sebagai perangkat inovasi kesejarahan dengan posisinya sebagai pedagang mimpi, artinya iming-iming konsumsi. Hal ini di dukung oleh lembaga-lembaga pendidikan yang umumnya tidak mampu memberi landasan pengetahuan dan kesadaran kepada anak muda kita, agar bisa menghadapi keadaan tersebut secara sehat.

Kita semua sudah tahu bahwa kurikulum pendidikan formal kita hampir selalu tidak mengusahakan integritas yang runtut dengan permasalahan yang terus berkembang dalam kehidupan masyarakat. Namun dengan mengemukakan hal tersebut tak berarti saya semata-mata menyalahkan para pengajar, karena sepanjang pengetahuan saya; bahkan banyak sekali mahasiswa-mahasiswa tingkat tinggi yang hidup di tengah pusaran pusat perubahan dan perkembangan masyarakat modern ini, tidak cukup mengetahui seluk-beluk perubahan dan permasalahan yang dikandung oleh masyarakat. Mereka bahkan tak sedikit yang juga menjadi “pasien” dari apa yang diatas disebut sebagai krisis sejarah.

Generasi Barang Jadi

Bahwa krisis tersebut menyebabkan anak-anak muda kita punya sikap mental konsumtif itu sudah lama kita ketahui bersama. Tapi yang tidak selalu kita insafi barangkali adalah detail dari dimensi-dimensi intrinsic sikap mental konsumtif itu ; menyangkut bertumbuhnya kecenderungan tertentu dalam soal etos kerja, etos hasil yang seringkali memaksa kita untuk berpikir lebih kompleks ketika menyelenggara usaha - usaha pengembangan masyarakat . Masalah ini lebih ruwet dari yang sering dicoba atasi secara parsial dan sporadic dengan acuan-acuan “kemauan berwiraswasta”, “penanggulangan kenakalan remaja “, “pengarahan dan penataran”, atau apalagi igauan-igauan nasional kita tentang “bersama kita bisa” dan seterusnya.

Anak-anak muda kita dewasa ini dibesarkan oleh suatu iklim lingkungan yang sangat mendorong mereka untuk ingin cepat-cepat menikmati hasil. Yang disebut hasil, juga dipersempit pada pemilikan materialistik.

Kerja bagi mereka (sadar atau tidak sadar) benar-benar hanya suatu cara untuk mencapai hasil. Maksud saya, yang mereka cintai hanya hasil. Mereka tidak sekaligus mencintai kerja tersebut, maka kalau ada kemungkinan mereka bisa menikmati ‘hasil’ tanpa kerja apa-apa jadilah.

Semangat melakukan sesuatu pekerjaan, proses mencintai dan mengakrabi pekerjaan yang baik, kenikmatan ruhani selama mengerjakan sesuatu, tidak pernah dihitung sebagai suatu hasil. Impian-impian mereka terutama hanya di sekitar enjoying konsumsi-konsumsi. Ini termasuk sikap mereka terhadap sekolah yang utama bukan usaha mencintai proses mencari ilmu, tapi semata-mata memfungsikan status sekolah untuk investasi kerja, artinya untuk investasi hasil. Selesai sekolah, mereka dapat hasil satu; status. Kemudian masuk kerja untuk hasil yang lain; kekayaaan. Ini rumus pokok karakter kesejarahan masa kini kita.

Kita hanya siap menerima hasil. Dan kalau bisa muati cepat-cepat. Maka, dengan sekolah yang penting ijazah. Kalau kerja gampang korupsi. Kalau tak kerja, gampang, jadi gali atau pencuri. Kita hanya siap menerima barang jadi. (c’nun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar